ANALISIS STRUKTUR dan KEBAHASAAN TEKS DRAMA "Mengapa Kau Culik Anakku" [Karya Seno Gumira Aji Darma]


 BABAK PERTAMA

Jam Westminter berdentang 10 kali

Dari jendela tampak bulan separuh

SEGALANYA HITAM DI PANGGUNG ITU. LANTAI HITAM, LAYAR HITAM, SEGALANYA HITAM – BAHKAN JUGA MEJA DAN KURSI. SEGALANYA MEMANG HITAM, TAPI DUA SOROT LAMPU PUTIH MASING-MASING MENERANGI BAPAK DAN IBU. MEREKA SUDAH BERUSIA PARUH BAYA, SEKITAR 50 AN. BAPAK MENGENAKAN KAOS OBLONG PUTIH DAN SARUNG. IBU MENGENAKAN KAIN DAN KEBAYA SUMATERA.


BAPAK BERSANDAL KULIT SILANG, IBU BERSELOP TUTUP. BAPAK MENONTON TV. IBU MEMBACA BUKU. BAPAK MEMENCET REMOTE KONTROL. BERDECAK-DECAK SEBAL, LANTAS MEMATIKANNYA. SUASANA SEPI.


MUSIK BLUES FADE IN. LAMPU MEREDUP. BAPAK MELAMUN. IBU MASIH MEMBACA. MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU TERANG.


BAPAK           :Bu….

IBU                  :Ya….

BAPAK           :Baca buku apa sih?

IBU                  :(Sambil membaca sampulnya) Oh, ini buku baru: Cara Melawan Teror

BAPAK           :Apa katanya?

IBU                  :Baru juga mulai baca. Belum tahu isinya. Habis diajak ngomong terus sih!

BAPAK           :Yah, di sampul belakang kana da kecapnya.

IBU                  : (Melihat sampul belakang) Apa ya katanya?(Membaca) Buku ini perlu dibaca penduduk Negara-negara yang akan hancur, karena dalam masyarakat seperti itu kendali hukum sangat mengendor, tatanan nilai kabur, sehingga melahirkan anarki. Setiap orang berbuat seenak perutnya sendiri dan memaksakan kehendaknya dengan teror . itulah gunanya buku ini: Cara Melawan Teror. Perlu dibaca oleh mahasiswa, aktifis, wartawan, penasehat hukum dan berbagai profesi yang rawan terror. Buku ini juga berguna bagi siapa saja yang merasa perlu lebih siap melawan teror.

BAPAK           :Untuk apa kamu baca itu?

IBU                  :Lho, bapak ini bagaimana sih?

BAPAK           :Bagaimana apa?

IBU                  :Baru setahun kok sudah berusaha lupa.

BAPAK           :Apa?

IBU                  :Keterlaluan

BAPAK           :Ada hubungannya dengan buku itu?

IBU                  :Ya jelas dong!

BAPAK           :Ca-ra-me-la-wan-te-ror. Apa yang kulupakan ya?

IBU                  :Pikir sendiri

BAPAK           :Aku malah inget yang lain.

IBU                  :Apa?

BAPAK           :Buku itu menyatakan seolah-olah Negara kita sudah hancur.

IBU                  :Memang sudah hancur, bagaimana!

BAPAK           :Begitu ya bu?

IBU                  :Wah, aku nggak mau jadi analis politik amatiran. Bapak saja yang ngomong.

BAPAK           :Aku juga sebetulnya tidak tahu apa-apa, bu!

IBU                  :Tapi yang satu itu tidak boleh lupa.

BAPAK           :Apa?

IBU                  : (Hanya melihat ke arah Bapak)

BAPAK           :Tidak boleh lupa?

IBU                  :Tidak boleh.

BAPAK           :Kalau lupa?

IBU                  :Kalau bapak lupa, artinya sengaja melupakannya. Itu juga berarti bapak ikut berdosa.

BAPAK       :Waduh, menyangkut dosa lagi! Gawat sekali rupanya. Aku paling malas  berdosa.

IBU                  :Paling malas berdosa!?

BAPAK           :Iya.

IBU                  :Ah, yang bener….

BAPAK           :Iya! Kamu tidak percaya?

IBU                  :Kayaknya bapak selalu lupa deh dengan dosa-dosa bapak yang terbesar. Toh semua itu aku bisa maafkan. Tapi tidak untuk yang satu ini.

BAPAK           :Aneh. Aku bisa lupa dosa-dosaku. Tapi yang satu ini tidak boleh lupa. Kalau  lupa, itulah dosa yang terbesar.

IBU                  :Makanya, jangan berlagak pikun

BAPAK           :Jadi, apa?

IBU                  :Lho!

BAPAK           :Aduh! Manusia itu kan pelupa Bu! Masa aku tidak boleh lupa!?

IBU                  :Yah, manusia pelupa, manusia cepat lupa, apalagi yang menyangkut dosa.

BAPAK           :Gawat-gawat sekali. Apa yang kulupakan selama ini?

IBU                  :Oalah pak, pak. Kita memang tidak pernah membicarakannya selama ini. Tapi itu tidak berarti kita boleh melupakannya.

BAPAK           :Wah, apa ya? Kamu bilang tadi, ada hubungannya dengan cara  melawan teror

IBU                  :Sebetulnya bapak inget.

BAPAK           :Tidak. Aku sungguh-sungguh lupa.

IBU                  :Gawat.

BAPAK           :Apa ya? Kenapa begitu gawat?

IBU                  :Karena melupakannya adalah dosa besar.

BAPAK           :Kita harus mengingatnya?

IBU                  :Ya.

BAPAK           :Kita harus membicarakannya?

IBU                  :Ya. Kalau perlu sengaja memperingatinya.

BAPAK           :Tidak mikul dhuwur mendem jero? Melupakan yang buruk mengingat yang baik?

IBU                  :Nggak usah!

BAPAK           :Waduh! Gawat!

IBU                  :Kenapa?

BAPAK           :Aku tidak ingat

IBU                  :Jadi, semuanya ini ada hubungannya dengan terror!

BAPAK           :Terror!

IBU                  :Ya! Terror!

BAPAK           :Te-ror….

IBU                  :Ya. Te-ror….

BAPAK           :Te-ror-te-ror-te-ror….hmmm….

IBU                  : (Melihat dengan wajah kesal)

BAPAK           :Aku belum ingat apa yang ada hubungannya dengan kita. Tapi kalau mendengar kata itu, aku jadi ingat apa yang terjadi pada zaman geger-gegeran dulu itu.

IBU                  :Itu juga belum lama.

BAPAK           :Tapi semua orang sudah lupa.

IBU                  :Pura-pura lupa.

BAPAK           :Buku sejarah saja tidak mencatatnya.

IBU                  :Itu dia. Dosa orang lain dicatat besar-besaran. Dosa sendiri menguap entah kemana.

BAPAK           :Hmmm. Rumit ya Bu?

IBU                  :(Berdiri, berjalan ke jendela)

Sebetulnya tidak. Semuanya jelas. Siapa yang bisa melupakannya? Aku masih kecil waktu itu. Malam-malam semua orang berkumpul. Mereka membawa golok, clurit, pentungan dan entah apa lagi. Mereka mengepung rumah itu selepas tengah malam. Mereka berteriak-teriak, karena yang dicarinya naik ke atas genteng. Orang itu lari dari atap satu keatap lainnya seperti musang. Kadang-kadang dia jatuh, merosot. Orang-orang mengejarnya juga seperti nengejar musang. Aku masih inget suara gedebugan di atas genteng itu. Orang-orang mengejar dari gang ke gang, suaranya juga gedebukan. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan parang. Orang itu lari. Terpeleset, hamper jatuh ke bawah, merayap lagi. Sampai semua tempat terkepung. Orang itu terkurung….



BAPAK           :Sudahlah bu! Sudah lebih dari tiga puluh tahun.

IBU                  :Aku tidak bisa lupa. Bukan hanya karena kejadian yang dialami orang itu, tapi apa yang dialami keluarganya. Dia punya anak, punya istri, punya ibu. Semua melihat dia dikejar seperti musang. Melihat dengan mata kepala sendiri orang itu merosot dari atas genteng ketika terpeleset dan tidak ada lagi yang bisa dipegang. Orang-orang di bawah menunggunya dengan parang.

BAPAK           :Bu!

IBU                  :Orang-orang itu menghabisinya seperti menghabisi seekor musang. Orang itu digorok seperti binatang. Ibu menutupi mataku. Tapi aku tidak bisa melupakan sinar matanya yang ketakutan. Aku masih ingat sinar mata orang-orang yang mengayunkan linggisnya dengan hati riang. Kok bisa? Kok bisa terjadi semua itu. Bagaimana perasaan anaknya mendengar jeritan bapaknya? Bagaimana perasaan istri mendengar jeritan suaminya? Bagaimana perasaan ibu mendengar jeritan anaknya? Apa bapak yakin setelah tiga puluh tahun lebih mereka bisa melupakannya? Mereka mungkin ingin lupa. Tapi apa bisa? Politik itu apa sih, kok pakai menyembelih orang segala?

BAPAK           :Untuk apa kamu mengingat-ingat ini semua?

IBU                  :Itulah pertanyaanku juga. Untuk apa? Tapi aku tidak sengaja mengingat-ingat. Aku ingat begitu saja. Kenangan itu menempel seperti lintah. Dia lewat seperti kenangan.

BAPAK           :Kenangan buruk.

IBU                  :Mimpi buruk

BAPAK           :Sejarah

IBU                  :Itulah dia pak. Sejarah. Sejarah itu ada. Hidup terus sampai hari ini.

BAPAK           :Waktu

IBU                  :Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah. Ketika sampai di kelas, aku Cuma mencium bau amis darah. Darah orang-orang yang disiksa menyiprat di tembok, papan tulis dan bangku-bangku. Di mana-mana orang bergerombol, berteriak-teriak, mencari orang-orang yang diburu.

BAPAK           :Waktu

IBU                  :Begitu buruk. Begitu mengerikan. Tapi mengapa kita sekarang mengulanginya?

BAPAK           :Satria!

IBU                  :Itulah. Bapak ini belum begitu tua kok sudah berusaha pikun. Tidak baik begitu pak. Kalau kita melupakan kekejaman, kita akan mengulanginya.

BAPAK           :Aku Cuma ingat bagaimana orang-orang menjauh ketika semua itu menimpa kita. Orang yang malang malah dijauhi. Ada yang bilang. “Sorri aku baru menelpon sekarang, ini pun dari telepon umum, karena aku takut teleponku disadap, aku harap semuanya baik-baik saja. Sorry, aku takut, aku punya anak kecil soalnya” hmmmh. Saudara-saudara menjauhi semuanya. Takut, seperti kita ini punya penyakit sampar.

IBU              :Habis begitu memang begitu caranya menilai. Pikiran kok dianggap menyatu dengan darah.

BAPAK           :Cara berpikir apa itu ya?

IBU                  :Cara berpikir orang bego!

            BAPAK           :Bego tapi berkuasa.

            IBU          :Begitu berkuasanya sehingga merasa berhak menguasai pikiran, dan sangat tersinggung kalau orang berpikir lain.

BAPAK           :Sangat tersinggung.

       IBU       :Sangat tersinggung. Maka mengamuklah dengan pentungan,     penangkapan, penculikan dan penganiayaan.

BAPAK           :Kekuasaan yang kerdil.

IBU                  :Kerdil.

BAPAK           :Kerdil.

TELEPON BERDERING. BAPAK MENGANGKAT TELEPON

BAPAK           :Hallo! Ya? Salah! Salah sambung! Ini Cikini, bukan Jurang Mangu. Tidak apa-apa. Selamat malam.

IBU                  :Terror lagi?

BAPAK           :Bukan. Memang salah sambung.

IBU                  :Dulu Satria sering diteror lewat telepon

BAPAK           :Ya, aku tahu. Aku juga sering diteror, dikira Satria.

IBU                  :(setelah jeda) Ah, Satria. Satria….

LAMPU MEREDUP
 
 
ANALISIS:

1.      Prolog adalah kata-kata pembuka, pengantar, ataupun latar belakang cerita, yang biasanya disampaikan oleh dalang atau tokoh tertentu. Pada teks drama di atas prolog dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

MUSIK BLUES FADE IN. LAMPU MEREDUP. BAPAK MELAMUN. IBU MASIH MEMBACA. MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU TERANG.
2.        Dialog
  • Orientasi sesuatu cerita menentukan aksi dalam waktu dan tempat; memperkenalkan para tokoh, menyatakan situasi sesuatu cerita, mengajukan konflik yang akan dikembangkan dalam bagian utama cerita tersebut, dan ada kalanya membayangkan resolusi yang akan dibuat dalam cerita itu. Pada teks drama di atas orientasi dapat dilihat pada dialog

          BAPAK          :Bu….

           IBU                 :Ya….

           BAPAK          :Baca buku apa sih?

            IBU                 :(Sambil membaca sampulnya) Oh, ini buku baru: Cara Melawan Teror

  • Komplikasi atau bagian tengah cerita, mengembangkan konflik. Sang pahlawan atau pelaku utama menemukan rintangan-rintangan antara dia dan tujuannya, dia mengalami aneka kesalahpahaman dalam perjuangan untuk menanggulangi rintangan-rintangan ini.

BAPAK           :Sudahlah bu! Sudah lebih dari tiga puluh tahun.
IBU                 :Aku tidak bisa lupa. Bukan hanya karena kejadian yang dialami orang itu, tapi apa yang dialami keluarganya. Dia punya anak, punya istri, punya ibu. Semua melihat dia dikejar seperti musang. Melihat dengan mata kepala sendiri orang itu merosot dari atas genteng ketika terpeleset dan tidak ada lagi yang bisa dipegang. Orang-orang di bawah menunggunya dengan parang.
 BAPAK           :Bu!
 IBU                  :Orang-orang itu menghabisinya seperti menghabisi seekor musang. Orang itu digorok seperti binatang. Ibu menutupi mataku. Tapi aku tidak bisa melupakan sinar matanya yang ketakutan. Aku masih ingat sinar mata orang-orang yang mengayunkan linggisnya dengan hati riang. Kok bisa? Kok bisa terjadi semua itu. Bagaimana perasaan anaknya mendengar jeritan bapaknya? Bagaimana perasaan istri mendengar jeritan suaminya? Bagaimana perasaan ibu mendengar jeritan anaknya? Apa bapak yakin setelah tiga puluh tahun lebih mereka bisa melupakannya? Mereka mungkin ingin lupa. Tapi apa bisa? Politik itu apa sih, kok pakai menyembelih orang segala?

  • Resolusi atau denouement hendaklah muncul secara logis dari apa- apa yang telah mendahuluinya di dalam komplikasi. Titik batas yang memisahkan komplikasi dan resolusi, biasanya disebut klimaks (turning point). Pada klimaks itulah terjadi perubahan penting mengenai nasib sang tokoh. Kepuasan para penonton terhadap suatu cerita tergantung pada sesuai-tidaknya perubahan itu dengan yang mereka harapkan.
 TELEPON BERDERING. BAPAK MENGANGKAT TELEPON

BAPAK             :Hallo! Ya? Salah! Salah sambung! Ini Cikini, bukan Jurang Mangu. Tidak apa-apa. Selamat malam.

3. Epilog adalah kata-kata penutup yang berisi kesimpulan atapun amanat      tentang isi keseluruhan dialog. Bagian ini pun biasanya disampaikan oleh dalam atau tokoh tertentu.

 Manganalisis Aspek Kebahasaan
 Langkah-langkah menganalisis aspek kebahasaan 
Untuk lebih jelasnya cermati dan perhatikan penggalan teks drama Mengapa Kau Culik Anakku berikut in
   BAPAK           :Bu….

      IBU                  :Ya….

      BAPAK           :Baca buku apa sih?

                     IBU                  :(Sambil membaca sampulnya) Oh, ini buku baru: Cara Melawan Teror

      BAPAK           :Apa katanya?

      IBU                  :Baru juga mulai baca. Belum tahu isinya. Habis diajak ngomong  terus sih!

      BAPAK           :Yah, di sampul belakang kana da kecapnya.


Aspek kebahasaan yang terdapat pada penggalan drama tersebut


No
Aspek Kebahasaan
Contoh kalimat

1
Kalimat tanya
Buku baca apa sih?
2
Percakapan sehari-hari
Oh, ini buku baru
3
Petunjuk laku
(Sambil membaca sampulnya)
4
Kalimat langsung
Yah, di sampul belakang kena da kecapnya.
5
Kata sapaan
Bu...


Aspek kebahasaan yang lain dapat dicermati pada penggalan berikut ini

            BAPAK           :Kita harus membicarakannya?

        BU                   :Ya. Kalau perlu sengaja memperingatinya.

BAPAK       :Tidak mikul dhuwur mendem jero? Melupakan yang buruk mengingat yang baik?

IBU                  :Nggak usah!

            BAPAK           :Waduh! Gawat!

   Aspek kebahasaan yang terdapat pada penggalan tersebut

No
Aspek Kebahasaan
Contoh
1
Kata Ganti
Kita harus membicarakannya?
2
Kata Kerja Mental (Menyatakan sesuatu yang dipikirkan)
Melupakan yang buruk mengingat yang baik?

3
Kalimat Seru
Nggak usah!


Selain aspek kebahasaan yang telah di sebutkan di atas, masih ada aspek kebahasaan yang lain, dapat dicermati pada penggalan teks drama berikut ini!

IBU                  :Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah.   Ketika sampai di kelas, aku Cuma mencium bau amis darah. Darah orang-orang yang disiksa menyiprat di tembok, papan tulis dan bangku-bangku. Di mana-mana orang bergerombol, berteriak-teriak, mencari orang-orang yang diburu.

BAPAK           :Waktu

IBU                  :Begitu buruk. Begitu mengerikan. Tapi mengapa kita sekarang  mengulanginya?

BAPAK            :Satria!


                Aspek kebahasaan yang terdapat pada penggalan tersebut
            
No
Aspek Kebahasaan
Contok
1
Konjungsi keterangan waktu
Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah.   Ketika sampai di kelas, aku Cuma mencium bau amis darah.
2
Kata sifat
Begitu buruk. Begitu mengerikan.


Analisis kebahasaan teks drama yang terdapat pada Mengapa Kau Culik Anakku  adalah kalimat tanya, kalimat percakapan sehari-hari, petunjuk laku, kalimat langsung, kata sapaan,kata ganti, kata kerja mental, kalimat seru, konjungsi keterangan waktu dan kata sifat.


Komentar

Postingan Populer